Home > Uncategorized > Nonton Pilem ala Anak Kampung

Nonton Pilem ala Anak Kampung

Wednesday, 26 December 2007 Leave a comment Go to comments

Terilhami blog keren tentang tahun 80an, jadi teringat bahwa aku juga sudah hidup di zaman keemasannya Endang S. Taurina, Richie Ricardo, dll. Ngapain aja ya waktu itu? Kita bahas tentang dunia per-pilem-an dulu deh ya…

Menghabiskan waktu bocah di pergantian era 80-90an, jangan berharap ada DVD bajakan 5000an yang bisa dijadikan jurus andalan buat mengapresiasi film-film keluaran terbaru. Ditunjang dengan lokasi geografis yang menantang (baca: kampung), jadilah nonton film di bioskop merupakan hiburan-mewah-yang-tak-tercapai. Boleh dibilang, masa2 mudaku suci dari sentuhan yang namanya bioskop.

Ok. Jadi, dari mana aku mengenal Yeni Rahman, Roy Marten, George Rudi, dll?

Televisi

Sumber utama tentu saja televisi. The super supreme TVRI sering loh, menayangkan film-film bermutu. Tiap tahun baru (periode? lupa), jam 12an gitu, sering ditayangkan film-film Yeni Rahman & Roy Marten: mulai dari Gadis Marathon, Kabut Sutra Ungu, Gadis Kembar, (apa lagi yah?) dll. Belum lagi acara Sepekan Film Indonesia dan Film Malam Minggu yang selalu dinanti yang mengeluarkan film2 model Cinta dalam Sepotong Roti, Gadis Penakluk, Perempuan dalam Pasungan (TOB ABISH), Si Pitung, Dua Tanda Mata, Inem Pelayan Seksi, film2 Adi Bing Slamet, Chica Koeswoyo, Ira Maya Sophia & film anak-anak lainnya, de.el.el. TVRI juga jadi sumber acuan film-film baru dengan acara, err, apa yah? Apresiasi Film Indonesia kah? Pokoknya, sebel banget kalo layar TV menampilkan layar yang turun pelan-pelan diiringi lagu “…aku cinta, anda cinta, buatan indonesia…pilihanku, hanya satu, buatan Indonesia…” yang menandakan acaranya selesai.

Eh, ada satu film lagi yang menjadi spesialis TVRI, dan bukan di media apapun bahkan sampai era milenium ini (correct me if I’m wrong), pilm G 30 S PKI =D!!

Bioskop Dadakan Kampung Sebelah
Bioskop ini aslinya adalah gedung multiguna yaitu Kantor Kepala Desa Kampung Sebelah yang dilengkapi lapangan bulu tangkis plus panggung pertunjukan. Setiap selasa malam, bale desa ini disulap jadi gedung bioskop. Selain memajang  poster2 gede tentang film yang mau diputar di depan Bale Desa, marketing film dilakukan dengan cara keliling kampung pake mobil pick-up sambil berkoar-koar pake toa ala komentator bola dan OOH sambil lempar2in leaflet2 film yang berisi cuplikan2 gambar/adegan di film yang bakalan diputar (terbayang adegan lari2 mengejar mobil buat dapetin the precious leaflets).

Projector ditempatkan di bagian belakang gedung yang berupa panggung, bersebrangan langsung dengan layar pertunjukan (ya iya lah!) yang diletakkan di depan pintu masuk.  Jadi, pengunjung yang baru dateng langsung berhadapan dengan bagian belakang layar. Tempat VIP ada di panggung tempat proyektor berada karena biasanya suka ada bangku-bangku kayu, disamping tempatnya lebih tinggi jadi pas nonton ngga perlu mendongak. Penonton yang ngga kebagian bangku cukup puas menonton dengan jongkok, berdiri (langsung diteriakin orang yang dibelakangnya), or duduk di lantai. Banyak juga yang rajin bawa kertas or tiker (yup!) dari rumah. Harga tiketnya? Cukup dengan Rp 350 perak aja sodara-sodara.

Minimnya fasilitas yang ada tidak mengurangi keasyikan kami nonton film-film Indonesia yang bermutu (or NOT) yang sedang diputar. Film-film yang diputar juga macem-macem, mulai dari film-film remaja ala 80-an (Catatan Si Boy, Lupus, Rini Tomboy), pilem horor (yup, mostly featuring The Ultimate Indonesian Horror Movie Actress: Suzana), film2 persilatan/eksyen (Saur Sepuh, Tutur Tinular–inget pas nonton kecewa berat yang jadi Aria Kamandhanu bukan Si Suara Seksi Ferry Fadly, wadezigh!!, pilem2 Barry Prima/George Rudi), film-film komedi keren (Si Kabayan Saba Kota & Turun Kota-nya Didi Petet), komedi slapstik (apa lagi kalo bukan pilem2nya Warkop DKI, Unang dkk.) de.el.el. (Mat Peci (!), Tragedi Bintaro, Mandi Madunya Elvi Sukaesih–yup..yup..yup.. dengan Soundtrack andalan “Ah, ah, ah, mandi maduuuuu….”).
Bioskop dadakan ini mengalami masa-masa kejayaannya waktu aku masih SD (80-an). Menjelang tahun 90-an, pemutaran film yang semakin jarang dilakukan. Mungkin ada hubungannya dengan minimnya koleksi film non esek-esek yang dimiliki dunia perfilman Indonesia. Secara (doh, kata-kata najis koleksi tahun 2006/7 ini akhirnya keluar!) bioskop dadakan ini tempatnya di kampung gitu loh!

Layar Tancep Bale Desa
Kalo Bioskop dadakan itu letaknya di kampung sebelah, maka layar tancep di halaman Bale Desa ini tempatnya malah di sebelah rumah, cuma terhalang sepetak sawah. Walhasil dialog2 film terdengar cukup jelas. Sekeliling halaman bale desa ditutup pake terpal buat menghadang oknum2 iseng yang ngga mau bayar tiket. Padahal harga tiketnya hanya 350 perak, trus naik jadi 500 perak (wait,… jaman itu, uang 100 perak udah bisa jajan kenyang… Jadi, lumayan mahal juga doong!). Meskipun jadwal tayangnya ngga teratur seperti Bioskop Kampung Sebelah, kelebihan dari layar tancep bale desa ini adalah dia menyiarkan juga film2 mandarin/barat (dulu bilangnya pilem engchuengchueng) di samping film2 Indonesia. Film-film yang kuingat dinikmati disini diantaranya film Si Kabayan-nya Didi Petet yang sama Deasy Ratna Sari, Sepondok Dua Cinta, Ratapan Anak Tiri, Pengantin Remaja-nya Bucek Deep, AHHHH Si Ganteng Doni Damara &  Dede Jusuf yang jadi penerbang.. apa yah judul pilemnya? Perwira Ksatria kah? (cuma inget termehek2 mengagumi kegantengan Doni Damara PADA WAKTU ITUH), beberapa film mandarin/barat, de.el.el.

Layar Tancep Lapangan Bola
Lokasi: tentu saja lapangan bola! Biasanya, film-film yang diputar di sini adalah film2 gratisan: baik dari perusahaan rokok yang lagi promosi (dagangannya ngga hanya rokok doang, tapi juga jam dinding, payung, piring, dll) juga dari instansi2 yang mengadakan penyuluhan. Inget banget, bela-belain nonton ternyata filmnya kampanye transmigrasi! Apapun filmnya, penonton tetep membludak, gratis gitu loh. Senjata nonton layar tancep di sini adalah: tikar untuk alas duduk, terutama buat emak-emak. Aku sih bawaannya lebih keren sedikit: kertas koran. ABG!

Layar Tancep Kondangan
Sebelum marak dengan dangdutan & organ tunggal seperti saat ini, orang yang punya hajatan sering memutar film gratis sebagai hiburan. Berhubung film yang diputar bisa 3-5 film, biasanya acara nonton berakhir sekitar jam 2-3 dinihari. Film yang diputar biasanya judul2 jadul dengan film wajib yang diputar: tentu saja film persilatan, bisa 2-3 film, sampai ke sekuel2nya sekalian. Perlengkapan nonton lebih heboh lagi, tiker, selimut & bantal jadi perlengkapan wajib, terutama buat yang punya anak kecil (sadis, anak kecil aja dibawa begadang). Promosi film cukup dari mulut ke mulut, tapi gaungnya bisa terdengar sampe kampung-kampung sebelah (never underestimate the Power of Word-Mouth!). Yang berkesan dari semua pemutaran layar tancep adalah: berkumpulnya tukang dagang dari seluruh penjuru dunia (uhuk! too much hyperbole). Kue surabi yang biasanya hanya bisa dinikmati pagi hari, siomay langganan istirahat sekolah, kue pancong yang slalu ditunggu sore hari, semuanya ngumpul di satu tempat dan satu waktu yang berpusat di pertunjukan layar tancep. Ngga berlebihan kalau aku bilang layar tancep menjadi salah satu roda penggerak perekonomian pedesaan =D.

Seiring bertambahnya waktu, tentu saja, Si Anak Kampung mulai mencicipi kehidupan kota termasuk menyambangi Bioskop. Cuma rasanya, tiada kesan tanpa perjuangan =D

Categories: Uncategorized
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a comment